Sunday 23 January 2011

Supervisi Kepala Sekolah


PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENINGKATAN SUPERVISI KEPALA
SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU


Oleh :

Bagus Samadi



A.  Latar Belakang
Lembaga-lembaga pendidikan merupakan organisasi yang memerlukan kepemimpinan sebagai pendorong ke arah pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tidak ada sekolah yang selama ini tanpa seorang pemimpin.  Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa seorang pemimpin adalah individu yang memiliki kualitas kepribadian yang lebih dibandingkan dengan kebanyakan individu.  Dengan kepemimpinannya itu, kepala sekolah dapat mengisi setiap kekurangan yang ada atau dapat mengurangi hambatan yang timbul untuk meraih tujuan yang telah menjadi kesepakatan dalam suatu lembaga pendidikan.
Kepala sekolah sebagai supervisor mempunyai tugas merangsang, mengkoordinasikan dan membimbing segenap komponen sekolah agar lebih optimal melaksanakan tugasnya masing-masing.  Guru sebagai penentu keberhasilan siswa dalam proses belajar perlu disupervisi dengan baik agar guru mempunyai spirit atau semangat yang tinggi karena merasa apa yang dilakukannya mendapatkan dukungan dari kepala sekolah.
Dalam sebuah buku yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan disebutkan bahwa “Fungsi dari motivasi pimpinan adalah untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkah laku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan” (Mar’at,  1984: 24).
Berdasarkan pembahasan di atas terlihat jelas bahwa fungsi supervisi dari seorang kepala sekolah dapat memberikan pengaruh yang positif bagi seorang guru untuk meningkatkan kinerjanya.  Seorang kepala sekolah mempunyai kewajiban untuk terus berupa mendorong atau membimbing kepada para bawahannya, khususnya guru agar lebih meningkatkan kinerjanya, sehingga mencapai hasil yang optimal.  Namun demikian, dorongan atau bimbingan itu hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang manusiawi dalam konteks hubungan sosial yang saling menghormati dan saling menghargai fungsi dan kedudukan masing-masing.
Hal ini sejalan dengan pemikiran yang menyatakan bahwa Kepemimpinan yang efektif hanya akan berlangsung apabila ia dapat mendorong setiap individu untuk memperlakukan individu yang lain sebagai subjek yang dilakukan dalam bentuk saling menghormati dan saling menghargai.  Perlakukan subjek antar individu memungkinkan terwujudnya hubungan kemanusiaan yang efektif yang hanya dapat terjadi bilamana setiap personal menyadari dan memainkan peranan sesuai dengan posisinya masing-masing di dalam organisasi dan dalam kedudukannya sebagai manusia (Nawawi, 1984: 46).
Dewasa ini ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja.  Kecenderungan munculnya istilah tersebut muncul dalam berbagai bentuk profesi, bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui sebagai suatu profesi. Dalam bahasa awam, segala pekerjaan (vocation) kemudian disebut sebagai profesi.  Dalam bahasa awam pula, seseorang disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan dan hasilnya memuaskan.  Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan uang atau bentuk imbalan lainnya (Supriadi, 1999: 91).
Dalam dunia pendidikan, istilah profesional maupun profesionalisme bukan merupakan hal yang baru. Profesionalisme misalnya, menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.  Profesionalisme juga mengacu pada sikap dan komitmen anggota profei untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Guru yang profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.  Dalam jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1993 ditulis tentang profesionalisasi guru.  Dalam jurnal itu disebutkan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal, yaitu :
1.      guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya;
2.      guru mempunyai komitmen secara mendalam tentang materi yang diarjarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa;
3.      guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perlaku siswa sampai tes hasil belajar;
4.      guru mampu berpikir secara sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya;
5.      guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Supriadi, 1999: 98).


Secara individual guru tidak akan mampu melaksanakan tugasnya itu dengan sempurna manakala kepala sekolah sebagai supervisor kurang menunjukkan dukungannya seperti yang diharapkan para guru. Bagaimanapun dorongan dari seorang kepala sangat perlu untuk menumbuhkan dan meningkatkan komitemen seorang guru, sehingga seorang guru dapat menjadi profesional di bidangnya. Permasalahannya sekarang ialah apakah supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru dapat memberikan dampak terhadap pningkatan kinerja guru yang tentu saja pada gilirannya akan berimbas pada mutu pendidikan?
Secara teoritis hal tersebut tentu saja tidak perlu diragukan lagi.  Hanya saja ketia suatu proses dijalankan di lapangan (sekolah) disadari atau tidak akan terjadi anomali atau penyimpangan.  Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyimpangan dari sesuatu yang menjadi tujuan utama dari suatu supervisi pendidikan maka berbagai pihak yang terkait hendaknya menyadari dan memahami tugas dan profesi masing-masing.  Guru hedaknya menyadari bahwa tugas utamanya adalah mengajar.  Agar dalam pelaksanaan tugasnya tersebut tidak mengalami kesulitan atau kesalahan maka guru juga memerlukan bimbingan dan pengawasan.  Dengan demikian, guru harus siap dan bersedia, serta memahami apabila kepala sekolah sebagai atasan langsung sekaligus sebagai supervisor utama memberikan evaluasi terhadap kinerjanya yang  telah dilaksanakan.
Pada siswa lain, kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sebnagai supervisor juga menunjukkan profesional dan kinerjanya yang baik.  Artinya bahwa kepala sekolah hendaknya tidak mencaria-cari kesalahan seorang guru ketika mengadakan supervisi kelas karena memang tugas supervisi bukan mencari kesalahan, melainkan mengamati suatu proses pembelajaran sehingga dapat diketahui sisi kelemahan dan kelebihan dari suatu proses belajar mengajar.
B.     Masalah Supervisi
Banyak definisi tentang supervisi telah dirumuskan oleh para ahli.  Namun di antara sekian banyak rumusan supervisi tersebut ada dua rumusan yang dapat dinyatakan mampu menampung definisi supervisi dari banyak ahli.   Pendapat pertama dikemukakan oleh Baardman, dkk (Lazaruth, 1988: 33) dalam buku yang berjudul  Democratic Supervision in Secondary Schools dinyatakan bahwa supervisi adalah  sebagai berikut.
As the effort to stimulate, coordinate, and guide the continued growth of the teachers in a school, both individually and collectively, in better understanding and more effective performance of all the function the continued growth of every pupil toward the richest and most intelligent in modern democratic society.

Definisi di atas nampak menjelaskan bahwa supervisi merupakan kegiatan atau usaha untuk merangsang, mengkoordinasikan dan membimbing pertumbuhan guru-guru sehingga lebih dapat memahamai dan lebih efektif penampilannya dalam proses belajar mengajar dan dengan demikian mereka akan mampu membimbing dan merangsang pertumbuhan murid-muridnya untuk dapat berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat modern sekarang.
Kimbell  dalam bukunya Supervision for Better Schools (Lazaruth, 1988: 33) menyusun rumusan yang singkat tetapi jelas, yaitu “Supervision is assistance in the development of a better teaching – learning situation” (Supervisi merupakan bantuan yang diberikan kepada gurui-guru untuk memperbaiki atau mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik). 
Jadi, berdasarkan dua rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesional mereka makin berkembang sehingga situasi belajar mengajar makin efektif dan efisien.  Kegiatan supervisi pada prinsipnya adalah kegiatan menolong atau membantu, sehingga keberhasilan usaha ini lebih ditentukan oleh orang yang ditolong, yaitu guru itu sendiri.  Dalam hal ini peranan supervisor ialah mendorong (supporting), membantu (assisting) dan bekerja sama (sharing).
Dengan melihat rumusan supervisi sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa supervisi mempunyai fungsi untuk memperbaiki dan mengembangkan proses belajar mengajar kearah yang lebih baik.  Menurut Swearingen (Lazaruth, 1988: 34) fungsi supervisi adalah a. mengkoordinasi semua usaha sekolah, b. melengkapi kepemimpinan sekolah, c. menstimulasikan usaha-usaha yang kreatif, d. memberikan fasilitas dan penilaian yang terus-menerus, e. menganalisis situasi belajar dan mengajar, f. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota staf, dan g. mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan guru-guru dalam mengajar.
C.          Tipe-tipe Supervisi
Walapun sudah banyak diketahui bahwa fungsi supervisi adalah menolong atau membantu guru-guru agar mereka dapat berkembang secara mandiri, namun dalam prakteknya banyak kegiatan supervisi terutama yang dilakukan oleh para pengawas lebih bersifat inspeksi.  Banyak kegiatan supervisi lebih ditekankan untuk menemukan kesalahan-kesalahan atau untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin akan dibuat oleh guru-guru.
Bringgs (dalam Lazaruth,1988: 38) mengemukakan 4 tipe supervisi dilihat dari pelaksanaannya, yaitu : supervisi yang bersifat korektif, supervisi yang bersifat preventif, supervisi yang bersifat konstruktif, dan supervisi yang bersifat kreatif.
1.      Supervisi yang bersifat korektif
Kegiatan supervisi yang bersifat korektif ini lebih menekankan usaha untuk mencari-cari kesalahan orang yang disupervisi.  Memang mencari kesalahan tahu segi negatif seseorang lebih mudah daripada mencari kebaikan-kebaikan atau segi positifnya.  Tetapi perlu disadari bahwa mencari dan menemukan kesalahan orang lain tidak menolong orang tersebut dari maslahnya.  Sebab itu supervisi yang menekankan pada usaha untuk mencari kesalahan bukanlah alat yang efektif untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Guru-guru yang selalu ditunjukkan kesalahannya selain tidak menjadi lebih baik bahkan menjadi frustasi dan bersikap negatif terhadap program-program supervisi.
2.   Supervisi yang bersifat preventif
Supervisi ini sangat menekankan pada usaha untuk melindungi guru-guru dari berbuat salah.  Guru-guru selalu diingatkan untuk tidak berbuat kesalahan dengan memberikan kepada mereka batasan-batasan, larangan-larangan atau sejumlah pedoman bertindak.
Sebagai akibatnya guru-guru tidak berani membuat hal-hal lain kecuali yang telah ditetapkan.  Mereka tidak berani mencoba hal-hal yang baru, karena takut salah.  Apabila hal ini berlangsung terus maka guru tidak memiliki lagi kepercayaan pada diri sendiri.
3.   Supervisi yang bersifat konstruktif
Supervisi yang bersifat konstruktif ialah supervisi yang berorientasi ke masa depan.  Supervisi yang demikian ini didasarkan pada keyakinan bahwa melihat kesalahan yang lampu serta menjaga agar guru tidak membuat kesalahan, tidak banyak menolong guru-guru untuk berkembang dalam profesinya maupun kepribadiannya.
Hakikat pendidikan ialah membangun agar menjadi lebih baik.  Begitu pula hakikat supervisi.  Peranan supervisi ialah membina dan membangun. Kesalahan-kesalahan masa lampau dapat digunakan sebagai pengalaman dan penemuan untuk membangun masa depan.  Jadi, tugas supervisi ialah menolong guru-guru untuk selalu melihat ke depan, melihat hal-hal yang baru, dan secara antusias mengusahakan perkembangan.
4.   Supervisi yang bersifat kreatif.
Apabila dalam supervisi yang konstruktif peranan supervisor atau kepala sekolah masih lebih besar, maka pada supervisi tipe ini guru lebih besar peranannya dalam mengusahakan perbaikan proses belajar mengajar. Peranan supervisor hanyalah mendorong dan membimbing.  Sedangkan usaha-usaha utuk menemukan perbaikan diserahkan kepada guru-guru.  Dengan kata lain peranan kepala sekolah adalah menciptakan situasi yang dapat menyuburkan timbulnya daya kreativitas pada guru-guru.
Hal-hal yang baru hanya mungkin terjadi berkat adanya kreativitas yang tinggi.  Sedangkan daya kreativitas hanya muncul dalam situasi di mana orang merasa aman untuk mencoba hal-hal yang baru, dengan risiko akan membuat kesalahan-kesalahan.
D.    Prinsip-prinsip Supervisi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa supervisi adalah suatu usaha untuk mendorong, mengkoordinasian dan membimbing guru-guru agar mereka terus bertumbuh dalam profesinya.  Maka kegiatan supervisi sangat berbeda dengan kegiatan inspeksi seperti dilakukan oleh para penilik sekolah pada masa-masa yang lalu.
Pada masa yang lalu kegiatan supervisi berlangsung secara otoriter dan lebih bersifat inspeksi, yaitu lebih menekankan pada pengawasan, penilaian dan mencari kelemahan-kelemahan.  Akan tetapi sebenarnya supervisi haruslah merupakan kegiatan pertolongan yang berlangsung terus-menerus dan sistematis yang diberikan kepada guru-guru agar mereka semakin bertumbuh dan berkembang.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan serta dilaksanakan oleh para supervisor pendidikan atau kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan supervisi agar benar-benar efektif dalam usaha mencapai tujuannya antara lain :
1.      Supervisi harus konstruktif
Kegiatan supervisi bermaksud menolong guru-guru agar mereka senantiasa bertumbuh agar mereka semakin mampu menolong dirinya sendiri, dan tidak tergantung kepada kepala sekolah.  Hal tersebut hanyak dapat tercapai apabila kepala sekolah mampu menunjukkan segi-segi positif atau kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh guru-guru, sehingga mereka memperoleh kepuasaan dalam bekerja.  Kepuasan kerja ini akan memberi semangat pada mereka untuk terus-menerus berusaha mengembangkan diri.  Justru karena itu, pertolongan harus diberikans sedemikian rupa sehingga akhirnya guru-guru mampu menolong dirinya sendiri, dan menjadi semakin kreatif.

2.      Supervisi harus realistis
Kegiatan serta tujuan supervisi tidak boleh muluk-muluk, tetapi harus didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya, yaitu pada keadaan guru-guru.  Karena itu kepala sekolah tidak boleh merencanakan hal-hal yang belum mampu dipahami serta dilakukan oleh para guru.
Sebelum kepala sekolah melakukan kegiatan supervisi, ia harus tahu terlebih dahulu sampai pada tingkat mana pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap yang dimiliki oleh guru-guru yang disupervisinya.  Jika demikian kepala sekolah akan tahu pertologan-pertolongan apa yang harus diberikan, sehingga kegiatan supervisi menjadi realistis.
3.      Supervisi harus demokratis
Usaha pengembangan mutu sekolah adalah usaha bersama yang berdasarkan musyawarah, mufakat dan gotong royong.  Baik kepala sekolah, guru-guru maupun karyawan yang lain bersama-sama saling menyumbang sesuai dengan fungsinya masing-masing.  Perbaikan tidak mungkin terjadi dengan paksanan dari atas terlepas dari kemauan danb keinginan guru-guru. Oleh karena itu, sebelum pertolongan diberikan, kepala sekolah harus membangkitkan terlebih dahulu motivasi pada guru-guru sehingga mereka sadar sepenuhnya akan pentingnya perbaikan.   Hal ini hanya akan dapat berlangsung apabila kepala sekolah menempatkan dirinya sebagai partner atau rekan bagi guru-guru dengan kemampuan dan kewibawaannya untuk menolong mereka. Dengan kata lain, supervisi harus dilaksanakan dalam suasana demokratis.
4.      Supervisi harus objektif
Kegiatan supervisi tidak boleh diwarnai oleh prasangka-prasangka pribadi kepala sekolah, agar tanggung jawab untuk menolong guru-guru dapat tercapai.  Agar pertolongan ini tepat pada sasarannya maka diperlukan data-data konkret tentang keadaan dan kemampuan guru-guru.
Setelah proses supervisi berlangsung maka perlu dilakukan evaluasi perkembangan guru sejauh mana mereka telah berkembang.  Tujuan evaluasi ini bukan pertama-tama untuk menilai guru-guru melainkan justru untuk menilai keberhasilan dan kegagalan kegiatan supervisi.  Hal ini berarti pula kepala sekolah menilai dirinya sendiri (self evaluation).
Dalam melakukan supervisi kepala sekolah juga harus berani mengakui keterbatasannya.  Sikap objektif dapat menjadi teladan bagi guru-guru sehingga mereka pun bersikap objektif mau mengakui kekuarangan-kekurangannya baik terhadap kepala sekolah maupun terhadap murid-murid, sebab kesediaan mengakui kekurangan merupakan pangkal bagi perkembangan dan kemajuan.
E.     Masalah Kinerja Guru
Dewasa ini ada suatu kecenderungan dalam masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja.  Sedemikian luas kecenderungan itu, sehingga timbul kesan istilah ini digunakan secara serampangan tanpa konsep yang jelas.  Tidak jarang seseorang dengan mudah mengatakan bahwa yang pentig harus profesional.  Akan tetapi, ketika ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud dengan profesional, ia tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.
Dalam konteks pendidikan dan keguruan, istilah profesionalisme sudah bukan sesuatu yang asing lagi, bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan, bahkan tuntutan.   Hal ini setidak-tidaknya muncul dalam rakernas Depdiknas setiap tahun yang selalu menggarisbawahi tentang pentingnya profensionalisme guru.  Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Depdiknas terhadap guru dan sekaligus merupakan penguatan terhadap apa yang telah disadari selama ini bahwa betapa guru mempunyai peranan amat penting dalam keseluruhan upaya pendidikan.
Memang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, dan faktor-faktor instrumental lainnya.   Namun demikian, semua itu pada akhirnya tergantung kepada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Guru merupakan bagian dari sebuah sistem pendidikan nasional, dan karena itu guru terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya.  Hal seperti ini biasa di mana pun, namun dalam konteks profesionalisme guru, dan jika mengajar dianggap sebagai pekerjaan profesional, maka mereka perlu bertanya pada diri mereka sendiri, sejauh manakah para guru dewasa ini memiliki pertimbangan profesional dalam melaksanakan tugasnya?
Makin kuatnya tuntutan akan prfesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju.  Misalnya, di Amerika isu tentang profesionalisasi guru sudah ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an.  Hal itu masih berlangsung sampai sekarang.  Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini.
Dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yaitu :
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.  Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa.  Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.      Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.  Artinya, guru harus selalu ada waktu untuk mengadakan refleksi dan korelsi terhadap apa yang telah dilakukannya.
5.      Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya keanggotaan dalam Persatuan Guru Republik Indonesia  (Supriadi, 1999: 98).

Ciri-ciri di atas terasa sangat sederhana dan pragmatis.  Namun justru kesederhanaan akan membuat sesuatu lebih mudah dicapai.  Hal ini berbeda dengan kalau berbicara tentang profesionalisme guru yang cenderung ideal dalam menetapkan kriteria dan ciri, seperti misalnya 10  kompetensi guru profesional yang populer pada tahun 1980-an.  Begitu idealnya, sehingga sulit dicapai dan dinilai dengan kriteria yang terukur.
Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru? Meningkatkan kualifikasi pendidikan dan pelatihan para guru adalah penting yang dilakukan melalui pendidikan prajabatan maupun dalam-jabatan.  Tetapi menurut berbagai hasil studi, itu saja tidak cukup, bahkan tidak begitu besar artinya jika tidak dilakukan usaha untuk terjadinya kolaborasi antara para guru sehingga terjadi berbagai pengalaman.
Di Indonesia, sesungguhnya telah ada wahana yang dipergunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (kelompok Kerja Guru), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), dan sebagainya yang memungkinkan para guru untyk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.
Namun demikian dua hal itu, yakni pendidikan dan wadah kegiatan dirasakan masih belum cukup untuk menunjukkan profesionalitas guru.  Satu hal lagi yang menentukan penampilan profesionalitas guru adalah sejauh manakah guru mampu menguasai prinsip-prinsip paedagogi secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku pada setiap mata pelajaran.
Segi lain yang diperlu dicatat adalah profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.  Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam-jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, dan lain-lain secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang, termasuk guru.
Untuk mewujudkan guru yang profesional bukan suatu pekerjaan yang mudah.  Namun demikian, bukan pula sesuatu yang mustahil.  Hal-hal yang perlu dicatat bahwa citra guru yang profesional mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :
1.      Guru memiliki semangat juang yang tinggi disertai dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang mantap;
2.      Guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkmebnagn ipetk;
3.      Guru yang mempunyai kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat;
4.      Guru yang memiliki kualitas kesejahteraan yang memadai;
5.      Guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan. (Aqib, 2003: 147).

F.     Fungsi Supervisi Kepala Sekolah bagi Kinerja Guru
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan kemajuan datau kemunduran sekolah. Kepala sekolah merupakan manusia yang secara sadar atau tidak mempunyai kehendak atau motivasi.  Motivasi inilah yang mengarahkan dirinya untuk melakukan suatu tindakan.  Salah satu motivasi kepala sekolah sebagai seiring pemimpin dalam suatu lembaga sekolah ialah mengupayakan bagaimana sekolah yang dipimpinnya mencapai keberhasilan.
Salah satu kunci keberhasilan itu adalah bagaimana kepala sekolah mampu memotivasi, mengarahkan, dan membimbing guru bagaimana secara maksimal melaksanakan tugasnya sehingga mencapai tujuan pengajaran seperti yang diharapkan dengan hasil yang memuaskan.  Dalam memotivasi, membimbing, dan mengarahkan para guru tersebut tentu saja kepala sekolah mempunyai berbagai cara dan metode.  Namun demikian yang harus diingat bahwa dalam memberikan motivasi, bimbingan, dan dorongan hendaknya jangan terasa dipaksakan.  Berikan kebebasan kepada para guru untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.  Pada akhirnya perlu ditegaskan bahwa supervisi kepala sekolah besar peranannya dalam membentuk kinerja guru yang lebih baik.
G.  Penutup
Dengan penjelasan di atas maka sebagai penutup karya tulis ini maka yang perlu digarisbawahi adalah bahwa apanpun namanya, supervisi atau pengawasan, dan sebagainya adalah dalam rangka mencapai suatu mutu pendidikan.  Ini artinya bahwa antara kepala sekolah sebagai supervisor dan guru sebagai salah satu komponen pendidikan harus terjalin hubungan yang bersinergi yang harmonis.  Dengan terjalinnya hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru maka bukanlah suatu hal yang mustahil jika dalam suatu sekolah akan terwujud suatu mutu proses pendidikan yang handal dan berkualitas.
                                          ****
                                                                  Praya, 30 Nopember 2009
                                         
h

DAFTAR PUSTAKA


 Ali, Moh. 1987. Penelitian Kependidikan.  Bandung: Angkasa.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aqib, Zainal. 2003. Profesionalisme Guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Sendekia.

Danim, Sudarwan 2000. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Prilaku. Jakarta: Bumi Aksara.

Dirawat, dkk, 1983, Pengantar Kepemimpinan Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Effendi, Sofian. 1999. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Tema Baru.

Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.

Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset

Joni, T. Raka. 1984. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Surabaya: Karya Anda.

Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lazaruth, Soewardji. 1988. Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya. Yogyakarta: Kanisius.

Mar’at. 1984. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Moekijat. 1979. Managemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian. Jakarta.Bumi: Aksara.

Nasir, Moh. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwanto,  M. Ngalim. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remadja Karya.

Riyanto,Yatim. 1996. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.  Jakarta: Rajawali.

Siagian, Sondang P. 1999. Teori dan Praktik Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudijono, Anas 2001. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudjana, Nana dan Ibrahim, 2001, Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sukardi, Dewa Ketut. 1983. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah.  Bandung: CV Ilmu.

Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wahjosumidjo. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

No comments:

Post a Comment