Sunday 23 January 2011

Makalah Pendidikan

PENINGKATAN MUTU PROSES PENDIDIKAN
MELALUI PENDEKATAN KULTUR SEKOLAH


Oleh Bagus Samadi



A.  Latar Belakang
Kehidupan global merupakan pandanagan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang baru bagi pembangunan ekonomii dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri.  Kehidupan global amat merasuk di semua sendi kehidupan, kehidupan global menjanjikan peluang-peluang manis laju berkembangnya teknologi tingkat tinggi yang serba cepat dan instan, namun juga menghadapkan tantangan-tantangan yag tidak sedikit seiring berkembangnya zaman. Sendi pendidikan termasuk yang cukup sensitif menghadapi era globalisasi ini. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global (Chan, 2005: 113).
Secara lebih spesifik peluang peningkatan mutu pendidikan di mulai dari lingkup sekolah.  Sekolah sebagai ujung tombak dalam mencetak manusia Indonesia yang berkualitas memiliki posisi yang strategis dan sangat menentukan.  Sehubungan dengan hal tersebut maka pembenahan dalam lingkup sekolah harus dilakukan sejak dini.
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni 1) proses belajar mengajar, 2) kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta 3) kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek mengajar, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah.  Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa.  Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek (dalam Zamroni, 2000: 147) bahwa upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga. 
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan “konvensional” dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan dana meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan.  Dengan kata lain bahwa agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional perlu diiringi pula dengan pendekatan inkonvensional. Pendekaan inkonvesional yang dimaksud adalah dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah (school culture).
B.  Kultur Sekolah
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilakui, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak.  Kultur ini juga dapat dilihat sebagau suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.  Oleh sebab itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oeh satu generasi kepada generasi berikutnya.  Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antargenerasi tersebut.
Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor paling menentukan kualitas sekolah.  Tetapi berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidkan tidak sebesar yang diduga selama ini.  Bukti terakhir, hasil The Third International Math and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati rangking atas untuk mata pelajaran matematika, padahal kultur negara-negara tersebut berbeda.  Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu faktor penentu kualitas sekolah.  Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa “faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah”.
Konsep kultur sekolah di dunia pendidikan berasal dari luar tempat kerja di dunia industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif.  Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz (Zamroni, 2000: 149) yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit.  Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos, dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah.  Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagaii dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.
Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris.  Kultur yang “sehat” memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivasi kerja guru, dan c) produktivitas dan kepuasan kerja guru.  Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh.  Artinya, sesuatu yang ada pada suatu sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kitan dengana spek yang lain, seperti, a) rangsanga untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e) ideology organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan kepala sekolah, dan h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel antara lain seperti semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.
Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa.  Tetapi mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotesis bagi persoalan pendidikan kita.
C.  Faktor Pembentuk Kultur Sekolah

Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di seklah, dan perkembanmgan mereka tidak dapat dihindarkan yang dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interakasi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antarsiswa sendiri.  Aturan sekolah yang ketat berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik baik antarsiswa maupun antar sekolah dan siswa.  Sebab aturan dan situasl sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa.  Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakni tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk menjadi dirinya.
Di Amerika serikat pernah dilakukan penelitian tentang factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini.  Anna Bardley dalam Hardly Working (Zamroni, 2000: 151) mengemukakan hasil penelitian tersebut.  Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tidak kuatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang sellau mengerjakan PR.  Sekitar 60% menyatakan mereka malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi.  Di samping itu, sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan prose belajar mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses beljar di sekolah berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan.  Sebagian siswa yang lain mengeluh karena guru seriing melecehkan mereka dan tidak mempelakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil.  Oleh karena itu, sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru.  Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai.

D.  Peran Guru
Guru sebagai ujung tombang keberhasilan pendidikan di sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada  sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola komunikasi, interaksi, dan metodologi yang diterapkannya.  Perubahan kultur yang lebih sehat harus dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah.  Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain.  Biarlah guru, staf adminsitrasi bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemipinan kepala sekolah, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, dan produktivitas sekolah.  Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk mengubah kultur sekolah.
Kultur sekolah ini berkaitan erat dengan visi dan misi yang dikembangkan sekolah tentang masa depan sekolah.  Sekolah yang memiliki visi dan misi  untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi dan tenaga profesional.  Kultur sekolah akan baik apabila:
a)     guru dapat berperan sebagai model;
b)     mampu membangun tim kerjsama;
c)     belajar dari siswa;
d)     harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan.


Guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut.  Karena akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam. guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan.
E. Penutup
Dengan adanya paradigma baru yang dikembangkan sekolah di atas, maka mutu proses pendidikan di sekolah dapat berjalan sejalan harmonis dan mencapai apa yang diharapkan oleh berbagai pihak.  Hasil ini tentu saja, sekali lagi, tergantung kepada kepemimpinan kepala sekolah sebagai top leader dan interaksi serta komunikasi segenap komponen pendidikan di sekolah, termasuk di dalamnya adalah peran guru sebagai ujung tombak keberhasilan proses pendidikan yang akan membawa sekolah kearah kemajuan atau kemunduran.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apapun namanya, keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung kepada kultur sekolah yang diterapkan sekolah. Oleh karena itu, pemahaman tentang kultur sekolah harus menyatu dalam diri segenap komponen sekolah.  Di samping itu, tentu saja kepribadian para pelaku pendidikan di sekolah, terutama figure guru itu sendiri. juga akan menentukan warna dan corak kultur sekolah yang akan dikembangkan di sekolah.

Mantang, 28 Nopember 2009
         Direvisi ulang, Awal Januari 2011
                             


DAFTAR PUSTAKA


Chan, Sam M. 2005. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Lazaruth, Soewardji. Kepala Sekolah dan Tangung Jawbnya. Yogyakarta. Kanisius.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Melton Putra.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.




No comments:

Post a Comment