Sunday 23 January 2011

Penguasaan Kosakata

Peningkatan Penguasaan Kosakata
dengan Metode Beryanyi

by: Bagus Samadi

A.    Latar Belakang
Upaya untuk mewujudkan masyarakat yang berkualitas merupakan tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang semakin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan professional pada bidangnya masing-masing. Pendidikan ialah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada orang yang belum dewasa agar menjadi dewasa, mandiri dan memiliki kepribadian yang utuh dan matang.
Di dalam pendidikan terdapat proses belajar-mengajar. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecakan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, maka diperlukan strategi-strategi dalam pembelajaran. Dalam hal ini strategi-strategi belajar mengacu pada perilaku dan proses-proses berpikir yang digunakan oleh siswa yang mempengaruhi apa yang dipelajari termasuk proses memori dan metakognitif. Menurut Michel Pressle (Nur, 2000:7), bahwa strategi-strategi belajar ialah operator-operator kognitif meliputi dan di atas proses-proses yang secara langsung terlibat dalam menyelesaikan suatu tugas belajar. Strategi-strategi tersebut merupakan strategi-strategi yang digunakan siswa untuk memecahkan masalah belajar tertentu.
Semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan. Struktur tugas mengacu pada jenis-jenis tugas kognitif dan sosial yang memerlukan model pengajaran dan pelajaran yang berbeda. Struktur tujuan mengacu pada tingkat koperasi dan kompetensi yang dibutuhkan siswa untuk mencapai tujuan. Struktur penghargaan meningkatkan nilai dalam bidang akademik. (Nur, 2000:23). Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas ialah suatu cara atau alat untuk mengadakan penilaian yang berbentuk serangkaian soal/instrument yang harus dikerjakan oleh siswa atau sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau prestasi siswa tersebut. Prestasi atau tingkah laku tersebut dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan intruksional pembelajaran atau tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi yang telah diberikan dalam proses pembelajaran, dan dapat pula menunjukkan kedudukan siswa yang bersangkutan dalam kelompoknya.
Selain model pembelajaran yang diperlukan, maka dalam pemilihan metode pembelajaran bahaasa Indonesia juga sangat diperlukan. Kecenderungan guru mengajar di kelas dengan metode yang sudah dikuasainya, sebab berdasarkan pengalaman mengajar akan terbentuk suatu pola mengajar tertentu yang dipandang paling efektif dan efisien, walaupun sudah menemukan pola metode yang dianggap sesuai. Namun proses pencarian pola tersebut tidak boleh berhenti sebab ada kemungkinan terdapat metode yang lebih baik.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam era yang semakin mengglobal ini, tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan dalam berbahasa asing, terutama bahasa Indonesia sangat penting. Namun demikian tidak sedikit siswa yang prestasi belajar bahasa Indonesianya belum memadai, hal ini disebabkan adanya kendala-kendala dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
Kemampuan guru seringkali kurang memadai untuk memenuhi tuntutan siswa terutama siswa-siswa yang punya kemampuan tinggi dalam berbahasa dan punya sarana belajar yang lebih canggih dari pada gurunya sendiri. Sistim belajar mengajar sering bersifat monoton, kurang variasi dan kurang menarik sehingga siswa menjadi bosan, tidak tertarik untuk belajar. Di kelas, siswa seringkali hanya diberi teori-teori, kaidah-kaidah dan hukum-hukum bahasa, bukannya aplikasi kaidah-kaidah dan hukum-hukum itu dalam penggunaan praktisnya sehingga siswa tidak merasakan manfaatnya belajar bahasa Indonesia.
Seperti diketahui belajar bahasa itu mencakup 4 aspek yaitu: mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis. Dari ke empat aspek bahasa itu, pada umumnya membaca kurang disenangi siswa, lebih-lebih, ketika topiknya tidak menarik minat siswa, hal ini terlihat pada saat siswa mengerjakan ulangan, mereka cenderung mengerjakan soal-soal yang lain terlebih dahulu ketimbang soal-soal mengenai pemahaman isi wacana (reading comprehension), sebab ada banyak siswa yang tidak memiliki penguasaan kosa kata bahasa Indonesia yang cukup untuk memahami isi wacana tersebut. Berdasarkan pengalaman lapangan ini, muncul ke permukaan suatu pemikiran bahwa penguasaan kosa kata berbahasa Indonesia siswa berpengaruh pada kemampuan siswa memahami isi wacana bahasa Indonesia. Untuk menguji pemikiran ini peneliti melakukan suatu penelitian survei di sekolah, untuk mengetahui apakah penguasaan kosa kata berbahasa Indonesia berhubungan secara signifikan dengan kemampuan membaca bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar membutuhkan berbagai macam metode pengajaran, maka pada penelitian ini peneliti mencoba untuk meneliti peningkatan penguasaan kosakata dengan menggunakan metode menyanyi, mengingat menyanyi merupakan hal yang menyenangkan maka peneliti berkesimpulan bahwa dengan pelasanaan pembelajar dengan menggunakan metode menyanyi ini dapat meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata siswa khususnya pada pembelajaran bahasa Indonesia.
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi guru, siswa dan orangorang yang berhubungan dengan dunia pendidikan bahasa Indonesia agar pembelajaran kosa kata bahasa Indonesia pada siswa ditingkatkan kualitas pembelajarannya. \
B.        Hakikat Membaca

Peningkatan ialah proses, perbuatan, cara meningkatkan (KBBI 1997: 1060). Walaupun kini telah banyak sarana-sarana informasi untuk menambah pengetahuan , seperti misalnya radio, televisi dan internet, membaca masih merupakan hal penting untuk membuka jendela informasi, lagi pula dalam internet sarana informasi yang tercanggih saat ini, kemampuan membaca yang tinggi tetap dituntut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ; membaca ialah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis dengan melisankan atau hanya di hati. Kamus Webster mendefinisikan membaca; To read is to understand and grasp the full sense of (such mental formulation) either with or without vocal reproduction. The World Book Encyclopedia menyatakan bahwa : Reading is the act of getting meaning from printed or written words. It is basic to learning and one of the most important skills in everyday life. Secara sederhana pengertian membaca ialah mengenali huruf-huruf dan kumpulan huruf yang memiliki arti tertentu yang mengekspresikan ide secara tertulis atau tercetak.
  1. Pengertian Kosa Kata
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan kosa kata berarti perbendaharaan kata (1997: 2012). Kosa kata atau perbendaharaan kata ialah jumlah seluruh kata dalam suatu bahasa; juga kemampuan kata-kata yang diketahui dan digunakan seseorang dalam berbicara dan menulis. Kosa kata dari suatu bahasa itu selalu mengalami perubahan dan berkembang karena kehidupan yang semakin kompleks. Jumlah yang tepat mengenai kosa kata dalam bahasa Inggris sampai saat ini tidak dapat dipastikan, namun perkiraan yang dapat dipercaya menyebutkan sekitar 1 juta. Berdasarkan definisi di atas, jelas bahwa penguasaan kosa kata yang cukup penting untuk dapat belajar bahasa dengan baik. Lagi pula berbicara mengenai bahasa maka hal itu tidak bisa terlepas dari kosa kata. Kosa kata ialah kata-kata yang dipahami orang baik maknanya maupun penggunaannya. Berapa banyak kosa kata yang harus dipunyai seseorang ? Seorang harus mempunyai kosa kata yang cukup untuk dapat memahami apa yang dibaca dan didengar, bisa berbicara dan menulis dengan kata yang tepat sehingga bisa dipahami oleh orang lain.
Kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kualitas dan kuantitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan seseorang terampil berbahasa. Perlu disadari dan dipahami benar-benar bahwa kenaikan kelas para siswa di sekolah ditentukan oleh kualitas keterampilan berbahasa mereka. Kenaikan kelas itu berarti pula merupakan suatu jaminan akan peningkatan kuantitas dan kualitas kosakata mereka dalam segala bidang studi yang mereka peroleh sesuai dengan kurikulum. Banyak orang yang kurang menyadari bahwa nilai yang tertera pada rapor siswa merupakan cermin akan kualitas dan kuantitas kosakata siswa. Baik atau buruk nilai rapor itu mencerminkan baik atau tidaknya keterampilan berbahasa  mereka.
Kalau masalah ini di perhatikan dengan benar-benar, maka dapat  dimengerti betapa pentingnya pembelajaran kosakata yang bersistem di sekolah-sekolah sedini mungkin. Kuantitas dan kualitas kosakata seseorang siswa turut menentukan keberhasilan dalam kehidupan. Kualitas dan kuantitas, tingkatan dan kedalaman kosakata sesorang merupakan indeks pribadi yang terbaik bagi perkembangan mentalnya.
Perkembangan kosakata ialah merupakan perkembangan konseptual,  merupakan suatu tujuan pendidikan dasar bagi setiap sekolah atau perguruan. Semua pendidikan pada prinsipnya ialah perkembangan kosakata yang juga merupakan perkembangan konseptual. Suatu program yang sistematis bagi perkembangan kosakata akan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendapatan, kemampuan, bawaan, dan status sosial serta fator-faktor geografis. Seperti halnya dalam proses membaca yang membimbing siswa dari yang telah diketahui menuju ke arah yang belum atau tidak diketahui. Oleh karena itu, telaah kosakata yang efektif haruslah beranjak dengan arah yang sama atau tidak diketahui (Tarigan, 1986:2 ). Jadi jelaslah bahwa bertambahnya kosakata pada diri seseorang itu seiring dengan perkembangan umur dan pengalaman seseorang. Sebagai contohnya manusia saat baru lahir yang belum mampu untuk berbicara, namun seiring dengan perkembangan jiwa dan umurnya, maka sang bayi akan mampu menilai sesuatu dengan kata serta mampu mengapresiasikan kehendaknya dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan.
Sudah jelas bahwa uraian di atas mencerminkan hakikat pembelajaran bahasa, yaitu siswa mampu berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Untuk mencapai hal itu siswa perlu dibekali kemampuan penguasaan kosakata yang memadai. Sebab kalau tidak demikian maka siswa tidak dapat berkomunikasi secara optimal. Sesuai hakikatnya pembelajaran bahasa, pembelajaran kosakata tidak diajar kata-kata lepas atau kalimat-kalimat lepas, tetapi terlibat dalam konteks wacana, berkaitan dengan mata pelajaran dan berkaitan pula dengan bidang-bidang tertentu.
Metode pembelajaran tidak disajikan secara khusus dalam GBPP. Hal ini dimaksudkan agar dapat memiliki metode yang dianggap tepat, sesuai dengan tujuan, bahan dan keadaan siswa. Untuk menghindari kejenuhan disarankan agar guru menggunakan metode yang beragam. Kegiatan bisa dilakukan di dalam atau di luar kelas dengan tugas yang beragam, berpasangan, berkelompok, atau seluruh kelas (Depdikbud, 2003:6). Ada banyak metode belajar mengajar yang bisa digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Semua metode itu dapat diterapkan guru dalam melaksanakan belajar siswa aktif yang menganut pendekatan proses.
Metode-metode itu pasang surut silih berganti, sesuai dengan perubahan-perubahan dalam pendangan-pandangan linguistik dan psikolog dan juga faktor-faktor lain. Meskipun sudah banyak penelitian dan eksperimen yang diadakan metode-metode mana yang paling efektif, tetapi masih sangat sulit untuk membuktikan secara ilmiah metode mana yang terbaik. Oleh karena pertimbangan ini, pendekatan elektrik pada metode pengajaran bahasa mungkin suatu pendekatan yang paling baik untuk guru bahasa selama guru belum mengetahui dengan pasti teori-teori lingustik dan psikologi mana yang dapat memberi jawaban dengan atas pertnyaan-pertanyaan mengenai efektivitas metode-metode pengajaran bahasa.
Uraian dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru mendapat suatu kesempatan untuk memilih metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Dengan demikian, guru tidak terpaku pada satu metode saja.
  1. Seni Musik dan Metode Bernyanyi
a.       Pengertian Seni Musik
Menurut Jamalus ( 1988:1) seni musik adalah suatu karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik, yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Lagu atau komposisi musik baru itu merupakan hasil karya seni jika diperdengarkan dengan menggunakan suara ( nyanyian ) atau dengan alat-alat musik.
Pendapat ini ditunjang oleh Jamalus (1998:65) yang mengatakan bahwa: “musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk/struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan”.
Menurut Wijaya (2006:3), “dalam bahasa Sanskerta kata seni disebut clipa. Sebagai kata sifat, clipa berarti berwarna, dan juga berarti bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda clipa berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kriteria yang artistik”.Selanjutnya Edy (2005:9) menyimpulkan bahwa “
Seni musik adalah perwujudan/manifestasi dari kehidupan cipta, rasa dan karsa seseorang dalam bentuk suara dan irama yang memuaskan. Di dalam seni musik suara merupakan hal yang penting, sebab keberhasilan cipta seni musik terletak pada vokal di samping irama, melodi, syair dan instrumen.

Dengan musik orang dapat menyatakan ungkapan perasaan prilakunya. Meskipun tanggapan terhadap ungkapan perasaan melalui musik ini akan berbeda bagi setiap orang. Hal ini tergantung kepada pengalaman tingkat pengenalan dan pengertian orang itu terhadap unsur-unsur musik yang membentuk komposisi musik atau lagu itu. Pembelajaran musik di Sekolah  Dasar diberikan secara bertahap yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak Sekolah Dasar. Pembelajaran musik itu harus diberikan sedemikian rupa sehingga anak dapat merasakan bahwa musik itu adalah sumber rasa keindahan
b.      Pengertian Bernyanyi
Menurut Jamalus (1988:46) kegiatan bernyanyi adalah merupakan kegiatan dimana kita mengeluarkan suara secara beraturan dan berirama baik diiringi oleh iringan musik ataupun tanpa iringan musik. Bernyanyi berbeda dengan berbicara bernyanyi memerlukan teknik-teknik tertentu sedangkan berbicara tanpa perlu menggunakan teknik tertentu. Bagi anak kegiatan bernyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan bagi mereka, dan pengalaman bernyanyi ini memberikan kepuasan kepadanya. Bernyanyi juga merupakan alat bagi anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
c.       Kemampuan Siswa dalam Bernyanyi
Secara umum kemampuan anak-anak bernyanyi dapat dibagi atas lima macam yaitu sebagai berikut.
1)      Mereka yang dapat bernyanyi tanpa bantuan. Yang termasuk
golongan ini adalah murid – murid yang dapat menyanyikan nada dengan tepat dan tetap, serta mau dan mampu bernyanyi sendiri.
2)      Mereka yang dapat bernyanyi dengan bantuan. Ialah mereka yang
belajar bernyanyi secepat murid macam pertama yang telah disebutkan jika bernyanyi bersama-sama.
3)      Mereka yang memulai atau mengakhiri lagu tidak tepat. Mereka
dapat bernyanyi dengan tinggi nada yang benar tetapi pada saat yang salah.
4)      Mereka yang bernyanyi dalam oktaf yang salah. Mereka cenderung
menyanyikan melodi dengan nada satu oktaf lebih rendah dari tinggi nada yang sudah ditentukan.
5)      Mereka yang bernyanyi kurang tepat dengan oktaf yang salah.
Murid-murid ini menghadapi dua masalah. Yang pertama mereka memulai atau mengakhiri lagu tidak pada waktu yang tepat, yang kedua mereka cenderung menggunakan suara rendah.

d.      Komponen Metode Bernyanyi
Nababan (1993:44) menyatakan bahwa komponen-komponen metode bernyanyi secara garis besarnya terdiri dari.
1.   Data
Guru yang akan menyajikan bahan palajaran, baik berupa lisan maupun tulisan dengan menggunakan metode Bernyanyi ini harus terlebih dahulu mengolah bahan yang dimaksud agar sesuai dengan bahan sajian untuk metode Bernyanyi.
3.   Penyajian masalah
Penyajian masalah terhadap siswa merupakan kata pengantar tujuan pelajaran dan penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan siswa.
4.   Kegiatan siswa
Siswa diberi kesempatan menghayati data, melakukan proses mental dalam waktu tertentu sesuai dengan bahan dan waktu yang tersedia. Kegiatan siswa sebaiknya diarahkan pada pencapaian perumusan Bernyanyi-Bernyanyi dan aplikasinya. Hal ini berarti siswa dituntut untuk dapat mengkaji masalah yang ada sedalam-dalamnya.
5.   Kegiatan guru
Pada saat siswa melakukan siswa kegiatan bernyanyi, guru hendaknya mengamati, mendengarkan pembicaraan antar siswa, dan sekali-kali bertanya kepada siswa untuk membimbingnya ke arah Bernyanyi serta penarikan kesimpulan Bernyanyi. Guru harus dapat memotivasi siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mengarahkan.

6.   Penyelidikan Bernyanyi siswa
Setelah kegiatan mencapai hasil dalam bentuk kesimpulan Bernyanyi awal, guru menyuruh siswa untuk mengemukakan hasil Bernyanyinya di kelas. Siswa lainnya memperhatikan, mengamati, dan bertanya jika perlu.
7.   Latihan siswa
Latihan siswa merupakan suatu bentuk variasi lain untuk menyelidiki hasil Bernyanyi siswa. Mungkin saja guru tidak menuntut perumusan yang telah dikemukakan siswa, tetapi langsung menyodorkan latihan-latihan sebagai upaya mengaplikasikan kaidah, aturan, hukum, dari data yang telah diolah siswa.
e.       Kelebihan dan kekurangan Metode Bernyanyi
1.      Kelebihan Metode Bernyanyi
Penggunaan metode Bernyanyi ini, guru berusaha meningkatkan aktivitas dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, metode ini memiliki keunggulan sebagai berikut.
1.      Metode ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif atau pengenalan siswa.
2.      Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi atau individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
3.      Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa.
4.      Metode ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
5.      Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
6.      Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses bernyanyi sendiri. (Masykur, Kadim. 2004:69)
2.      Kekurangan Metode Bernyanyi
Walaupun demikian, metode ini mempunyai kelemahan-kelemahan di antaranya sebagai berikut.
1.      Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
2.      Apabila  kelas terlalu besar, penggunaan metode ini akan kurang berhasil.
3.      Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional, mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan metode Bernyanyi.
4.      Dengan metode ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan atau pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa.
5.      Metode ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berfikir secara kreatif (Masykur, Kadim. 2004: 72).

Kegiatan belajar-mengajar yang dirancang dalam bentuk rencana mengajar disusun oleh guru mengacu pada hasil yang hendak dicapai. Tidak ada tujuan yang lebih penting dalam proses belajar-mengajar kecuali mengusahakan agar perkembangan dan belajar siswa mencapai tingkat optimal (Arikunto,2002:274). Memilih dan menentukan strategi yang akan digunakan untuk pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, perlu dipertimbangkan kesesuaian jenis strategi itu dengan variabel-variabel penentunya. Suatu bentuk aktivitas pembelajaran, memiliki nilai strategis jika aktivitas tersebut relevan dengan karakteristik variabel penentunya. Strategi pembelajaran mana yang akan dipilih tidaklah ditentukan secara kebetulan, atau sambil lalu saja. Kita harus membuat pertimbangan secara hati-hati. Pertimbangan mana yang dapat digunakan hendaknya harus disesuaikan dengan kondisi siswa didik. Aspek-aspek tujuan pembelajaran yang akan dicapai masalah efisiensi yang bertalian dengan waktu yang dipilih oleh siswa, serta fasilitas dan peralatan yang akan digunakan.
Belajar dipandang sebagai proses dilihat pada saat pembelajaran guru terutama melihat apa yang terjadi selama murid menjalani pengalaman. Pengalaman edukatif untuk mencapai suatu tujuan yang diperhatikan ialah pola-pola perubahan tingkah laku selama pengalaman belajar itu berlangsung, dan perubahan perkembangan tersebut dilihat dari 3 aspek.

a. Aspek kognitif.
 Menurut Piaget (1970 : 52), periode yang dimulai pada usia 8-12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia siswa SD-SMP, merupakan ‘period of formal’. pada usia ini, yang berkembang pada siswa ialah kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (mean ingfully) tanpa memerlukan objek yang kongkrit atau bahkan objek yang visual. Siswa telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif.
Implikasinya dalam pengajaran bahasa Indonesia ialah bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran). Sesuai dengan minat dan bakat siswa. Pengajaran bahasa Indonesia akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik siswa sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal.
b. Aspek Psikomotorik
Aspek psikomotorik merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru, aspek tersebut meliputi.
1) Tahap kognitif
 Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena siswa masih dalam taraf belajar untuk memgendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini siswa sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.


2) Tahap asosiatif.
Pada tahap ini seseorang siswa membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarainya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotorik oleh karena itu, gerakan- gerakan pada tahap ini, belum merupakan gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang siswa masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada tingkat kognitif. Karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakannya sudah tidak kaku.
3) Tahap otonomi.
Pada tahap ini, seorang siswa telah mencapai tingkat autonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap. Pada tahap ini, gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan untuk gerakan.
c. Aspek Afektif
Keberhasilan proses pengajaran bahasa Indonesia juga ditentukan oleh kemahaman tentang perkembangan aspek afektif siswa. Bloom dalam Darsono (36:2000) memberikan definisi tentang ranah afektif yang terdiri 5 tataran afektif yang aplikasinya pada siswa SD-SMP lebih kurang ialah (1) sadar akan situasi fenomena, masyarakat dan objek disekitar; (2) responsif terhadap stimulus yang ada dilingkungan mereka; (3) bisa menilai; (4) sudah mulai bisa mengorganisasikan nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan diantara nilai-nilai yang ada; (5) sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam sistem nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1982. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rieneka Cipta
Depdikbud. 2003. GBPP Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud
Depdikbud. 2003. Kurikulum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Depdikbud. 1955. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud
Hadi, Sutrisno. 1980. Metodologi Reseach. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.
Madya, Suwarsih. 1994. Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta : Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.
Margono. Drs. 1993. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rosda Karya
Masykur, Kadim. 2004. Pembelajaran  Kooperatif  dalam Pembelajaran Sains. Malang: Universitas Negeri Malang
Moleong, Lexy J. 2002.Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung :Remaja Rosda Karya,
Nur, Muhammad. 2000. Strategi-strategi Belajar. Surabaya : University Press.
N.K, Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
Piaget. 1970. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
Tarigan, Henri. 1986. Pengajaran kosakata. Bandung : Angkasa.
Utama, Nababan.1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia



Supervisi Kepala Sekolah


PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENINGKATAN SUPERVISI KEPALA
SEKOLAH TERHADAP KINERJA GURU


Oleh :

Bagus Samadi



A.  Latar Belakang
Lembaga-lembaga pendidikan merupakan organisasi yang memerlukan kepemimpinan sebagai pendorong ke arah pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tidak ada sekolah yang selama ini tanpa seorang pemimpin.  Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa seorang pemimpin adalah individu yang memiliki kualitas kepribadian yang lebih dibandingkan dengan kebanyakan individu.  Dengan kepemimpinannya itu, kepala sekolah dapat mengisi setiap kekurangan yang ada atau dapat mengurangi hambatan yang timbul untuk meraih tujuan yang telah menjadi kesepakatan dalam suatu lembaga pendidikan.
Kepala sekolah sebagai supervisor mempunyai tugas merangsang, mengkoordinasikan dan membimbing segenap komponen sekolah agar lebih optimal melaksanakan tugasnya masing-masing.  Guru sebagai penentu keberhasilan siswa dalam proses belajar perlu disupervisi dengan baik agar guru mempunyai spirit atau semangat yang tinggi karena merasa apa yang dilakukannya mendapatkan dukungan dari kepala sekolah.
Dalam sebuah buku yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan disebutkan bahwa “Fungsi dari motivasi pimpinan adalah untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkah laku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan” (Mar’at,  1984: 24).
Berdasarkan pembahasan di atas terlihat jelas bahwa fungsi supervisi dari seorang kepala sekolah dapat memberikan pengaruh yang positif bagi seorang guru untuk meningkatkan kinerjanya.  Seorang kepala sekolah mempunyai kewajiban untuk terus berupa mendorong atau membimbing kepada para bawahannya, khususnya guru agar lebih meningkatkan kinerjanya, sehingga mencapai hasil yang optimal.  Namun demikian, dorongan atau bimbingan itu hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang manusiawi dalam konteks hubungan sosial yang saling menghormati dan saling menghargai fungsi dan kedudukan masing-masing.
Hal ini sejalan dengan pemikiran yang menyatakan bahwa Kepemimpinan yang efektif hanya akan berlangsung apabila ia dapat mendorong setiap individu untuk memperlakukan individu yang lain sebagai subjek yang dilakukan dalam bentuk saling menghormati dan saling menghargai.  Perlakukan subjek antar individu memungkinkan terwujudnya hubungan kemanusiaan yang efektif yang hanya dapat terjadi bilamana setiap personal menyadari dan memainkan peranan sesuai dengan posisinya masing-masing di dalam organisasi dan dalam kedudukannya sebagai manusia (Nawawi, 1984: 46).
Dewasa ini ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja.  Kecenderungan munculnya istilah tersebut muncul dalam berbagai bentuk profesi, bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui sebagai suatu profesi. Dalam bahasa awam, segala pekerjaan (vocation) kemudian disebut sebagai profesi.  Dalam bahasa awam pula, seseorang disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan dan hasilnya memuaskan.  Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan uang atau bentuk imbalan lainnya (Supriadi, 1999: 91).
Dalam dunia pendidikan, istilah profesional maupun profesionalisme bukan merupakan hal yang baru. Profesionalisme misalnya, menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.  Profesionalisme juga mengacu pada sikap dan komitmen anggota profei untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Guru yang profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.  Dalam jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1993 ditulis tentang profesionalisasi guru.  Dalam jurnal itu disebutkan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal, yaitu :
1.      guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya;
2.      guru mempunyai komitmen secara mendalam tentang materi yang diarjarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa;
3.      guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perlaku siswa sampai tes hasil belajar;
4.      guru mampu berpikir secara sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya;
5.      guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (Supriadi, 1999: 98).


Secara individual guru tidak akan mampu melaksanakan tugasnya itu dengan sempurna manakala kepala sekolah sebagai supervisor kurang menunjukkan dukungannya seperti yang diharapkan para guru. Bagaimanapun dorongan dari seorang kepala sangat perlu untuk menumbuhkan dan meningkatkan komitemen seorang guru, sehingga seorang guru dapat menjadi profesional di bidangnya. Permasalahannya sekarang ialah apakah supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru dapat memberikan dampak terhadap pningkatan kinerja guru yang tentu saja pada gilirannya akan berimbas pada mutu pendidikan?
Secara teoritis hal tersebut tentu saja tidak perlu diragukan lagi.  Hanya saja ketia suatu proses dijalankan di lapangan (sekolah) disadari atau tidak akan terjadi anomali atau penyimpangan.  Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyimpangan dari sesuatu yang menjadi tujuan utama dari suatu supervisi pendidikan maka berbagai pihak yang terkait hendaknya menyadari dan memahami tugas dan profesi masing-masing.  Guru hedaknya menyadari bahwa tugas utamanya adalah mengajar.  Agar dalam pelaksanaan tugasnya tersebut tidak mengalami kesulitan atau kesalahan maka guru juga memerlukan bimbingan dan pengawasan.  Dengan demikian, guru harus siap dan bersedia, serta memahami apabila kepala sekolah sebagai atasan langsung sekaligus sebagai supervisor utama memberikan evaluasi terhadap kinerjanya yang  telah dilaksanakan.
Pada siswa lain, kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sebnagai supervisor juga menunjukkan profesional dan kinerjanya yang baik.  Artinya bahwa kepala sekolah hendaknya tidak mencaria-cari kesalahan seorang guru ketika mengadakan supervisi kelas karena memang tugas supervisi bukan mencari kesalahan, melainkan mengamati suatu proses pembelajaran sehingga dapat diketahui sisi kelemahan dan kelebihan dari suatu proses belajar mengajar.
B.     Masalah Supervisi
Banyak definisi tentang supervisi telah dirumuskan oleh para ahli.  Namun di antara sekian banyak rumusan supervisi tersebut ada dua rumusan yang dapat dinyatakan mampu menampung definisi supervisi dari banyak ahli.   Pendapat pertama dikemukakan oleh Baardman, dkk (Lazaruth, 1988: 33) dalam buku yang berjudul  Democratic Supervision in Secondary Schools dinyatakan bahwa supervisi adalah  sebagai berikut.
As the effort to stimulate, coordinate, and guide the continued growth of the teachers in a school, both individually and collectively, in better understanding and more effective performance of all the function the continued growth of every pupil toward the richest and most intelligent in modern democratic society.

Definisi di atas nampak menjelaskan bahwa supervisi merupakan kegiatan atau usaha untuk merangsang, mengkoordinasikan dan membimbing pertumbuhan guru-guru sehingga lebih dapat memahamai dan lebih efektif penampilannya dalam proses belajar mengajar dan dengan demikian mereka akan mampu membimbing dan merangsang pertumbuhan murid-muridnya untuk dapat berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat modern sekarang.
Kimbell  dalam bukunya Supervision for Better Schools (Lazaruth, 1988: 33) menyusun rumusan yang singkat tetapi jelas, yaitu “Supervision is assistance in the development of a better teaching – learning situation” (Supervisi merupakan bantuan yang diberikan kepada gurui-guru untuk memperbaiki atau mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik). 
Jadi, berdasarkan dua rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesional mereka makin berkembang sehingga situasi belajar mengajar makin efektif dan efisien.  Kegiatan supervisi pada prinsipnya adalah kegiatan menolong atau membantu, sehingga keberhasilan usaha ini lebih ditentukan oleh orang yang ditolong, yaitu guru itu sendiri.  Dalam hal ini peranan supervisor ialah mendorong (supporting), membantu (assisting) dan bekerja sama (sharing).
Dengan melihat rumusan supervisi sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa supervisi mempunyai fungsi untuk memperbaiki dan mengembangkan proses belajar mengajar kearah yang lebih baik.  Menurut Swearingen (Lazaruth, 1988: 34) fungsi supervisi adalah a. mengkoordinasi semua usaha sekolah, b. melengkapi kepemimpinan sekolah, c. menstimulasikan usaha-usaha yang kreatif, d. memberikan fasilitas dan penilaian yang terus-menerus, e. menganalisis situasi belajar dan mengajar, f. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota staf, dan g. mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan guru-guru dalam mengajar.
C.          Tipe-tipe Supervisi
Walapun sudah banyak diketahui bahwa fungsi supervisi adalah menolong atau membantu guru-guru agar mereka dapat berkembang secara mandiri, namun dalam prakteknya banyak kegiatan supervisi terutama yang dilakukan oleh para pengawas lebih bersifat inspeksi.  Banyak kegiatan supervisi lebih ditekankan untuk menemukan kesalahan-kesalahan atau untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin akan dibuat oleh guru-guru.
Bringgs (dalam Lazaruth,1988: 38) mengemukakan 4 tipe supervisi dilihat dari pelaksanaannya, yaitu : supervisi yang bersifat korektif, supervisi yang bersifat preventif, supervisi yang bersifat konstruktif, dan supervisi yang bersifat kreatif.
1.      Supervisi yang bersifat korektif
Kegiatan supervisi yang bersifat korektif ini lebih menekankan usaha untuk mencari-cari kesalahan orang yang disupervisi.  Memang mencari kesalahan tahu segi negatif seseorang lebih mudah daripada mencari kebaikan-kebaikan atau segi positifnya.  Tetapi perlu disadari bahwa mencari dan menemukan kesalahan orang lain tidak menolong orang tersebut dari maslahnya.  Sebab itu supervisi yang menekankan pada usaha untuk mencari kesalahan bukanlah alat yang efektif untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Guru-guru yang selalu ditunjukkan kesalahannya selain tidak menjadi lebih baik bahkan menjadi frustasi dan bersikap negatif terhadap program-program supervisi.
2.   Supervisi yang bersifat preventif
Supervisi ini sangat menekankan pada usaha untuk melindungi guru-guru dari berbuat salah.  Guru-guru selalu diingatkan untuk tidak berbuat kesalahan dengan memberikan kepada mereka batasan-batasan, larangan-larangan atau sejumlah pedoman bertindak.
Sebagai akibatnya guru-guru tidak berani membuat hal-hal lain kecuali yang telah ditetapkan.  Mereka tidak berani mencoba hal-hal yang baru, karena takut salah.  Apabila hal ini berlangsung terus maka guru tidak memiliki lagi kepercayaan pada diri sendiri.
3.   Supervisi yang bersifat konstruktif
Supervisi yang bersifat konstruktif ialah supervisi yang berorientasi ke masa depan.  Supervisi yang demikian ini didasarkan pada keyakinan bahwa melihat kesalahan yang lampu serta menjaga agar guru tidak membuat kesalahan, tidak banyak menolong guru-guru untuk berkembang dalam profesinya maupun kepribadiannya.
Hakikat pendidikan ialah membangun agar menjadi lebih baik.  Begitu pula hakikat supervisi.  Peranan supervisi ialah membina dan membangun. Kesalahan-kesalahan masa lampau dapat digunakan sebagai pengalaman dan penemuan untuk membangun masa depan.  Jadi, tugas supervisi ialah menolong guru-guru untuk selalu melihat ke depan, melihat hal-hal yang baru, dan secara antusias mengusahakan perkembangan.
4.   Supervisi yang bersifat kreatif.
Apabila dalam supervisi yang konstruktif peranan supervisor atau kepala sekolah masih lebih besar, maka pada supervisi tipe ini guru lebih besar peranannya dalam mengusahakan perbaikan proses belajar mengajar. Peranan supervisor hanyalah mendorong dan membimbing.  Sedangkan usaha-usaha utuk menemukan perbaikan diserahkan kepada guru-guru.  Dengan kata lain peranan kepala sekolah adalah menciptakan situasi yang dapat menyuburkan timbulnya daya kreativitas pada guru-guru.
Hal-hal yang baru hanya mungkin terjadi berkat adanya kreativitas yang tinggi.  Sedangkan daya kreativitas hanya muncul dalam situasi di mana orang merasa aman untuk mencoba hal-hal yang baru, dengan risiko akan membuat kesalahan-kesalahan.
D.    Prinsip-prinsip Supervisi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa supervisi adalah suatu usaha untuk mendorong, mengkoordinasian dan membimbing guru-guru agar mereka terus bertumbuh dalam profesinya.  Maka kegiatan supervisi sangat berbeda dengan kegiatan inspeksi seperti dilakukan oleh para penilik sekolah pada masa-masa yang lalu.
Pada masa yang lalu kegiatan supervisi berlangsung secara otoriter dan lebih bersifat inspeksi, yaitu lebih menekankan pada pengawasan, penilaian dan mencari kelemahan-kelemahan.  Akan tetapi sebenarnya supervisi haruslah merupakan kegiatan pertolongan yang berlangsung terus-menerus dan sistematis yang diberikan kepada guru-guru agar mereka semakin bertumbuh dan berkembang.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan serta dilaksanakan oleh para supervisor pendidikan atau kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan supervisi agar benar-benar efektif dalam usaha mencapai tujuannya antara lain :
1.      Supervisi harus konstruktif
Kegiatan supervisi bermaksud menolong guru-guru agar mereka senantiasa bertumbuh agar mereka semakin mampu menolong dirinya sendiri, dan tidak tergantung kepada kepala sekolah.  Hal tersebut hanyak dapat tercapai apabila kepala sekolah mampu menunjukkan segi-segi positif atau kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh guru-guru, sehingga mereka memperoleh kepuasaan dalam bekerja.  Kepuasan kerja ini akan memberi semangat pada mereka untuk terus-menerus berusaha mengembangkan diri.  Justru karena itu, pertolongan harus diberikans sedemikian rupa sehingga akhirnya guru-guru mampu menolong dirinya sendiri, dan menjadi semakin kreatif.

2.      Supervisi harus realistis
Kegiatan serta tujuan supervisi tidak boleh muluk-muluk, tetapi harus didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya, yaitu pada keadaan guru-guru.  Karena itu kepala sekolah tidak boleh merencanakan hal-hal yang belum mampu dipahami serta dilakukan oleh para guru.
Sebelum kepala sekolah melakukan kegiatan supervisi, ia harus tahu terlebih dahulu sampai pada tingkat mana pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap yang dimiliki oleh guru-guru yang disupervisinya.  Jika demikian kepala sekolah akan tahu pertologan-pertolongan apa yang harus diberikan, sehingga kegiatan supervisi menjadi realistis.
3.      Supervisi harus demokratis
Usaha pengembangan mutu sekolah adalah usaha bersama yang berdasarkan musyawarah, mufakat dan gotong royong.  Baik kepala sekolah, guru-guru maupun karyawan yang lain bersama-sama saling menyumbang sesuai dengan fungsinya masing-masing.  Perbaikan tidak mungkin terjadi dengan paksanan dari atas terlepas dari kemauan danb keinginan guru-guru. Oleh karena itu, sebelum pertolongan diberikan, kepala sekolah harus membangkitkan terlebih dahulu motivasi pada guru-guru sehingga mereka sadar sepenuhnya akan pentingnya perbaikan.   Hal ini hanya akan dapat berlangsung apabila kepala sekolah menempatkan dirinya sebagai partner atau rekan bagi guru-guru dengan kemampuan dan kewibawaannya untuk menolong mereka. Dengan kata lain, supervisi harus dilaksanakan dalam suasana demokratis.
4.      Supervisi harus objektif
Kegiatan supervisi tidak boleh diwarnai oleh prasangka-prasangka pribadi kepala sekolah, agar tanggung jawab untuk menolong guru-guru dapat tercapai.  Agar pertolongan ini tepat pada sasarannya maka diperlukan data-data konkret tentang keadaan dan kemampuan guru-guru.
Setelah proses supervisi berlangsung maka perlu dilakukan evaluasi perkembangan guru sejauh mana mereka telah berkembang.  Tujuan evaluasi ini bukan pertama-tama untuk menilai guru-guru melainkan justru untuk menilai keberhasilan dan kegagalan kegiatan supervisi.  Hal ini berarti pula kepala sekolah menilai dirinya sendiri (self evaluation).
Dalam melakukan supervisi kepala sekolah juga harus berani mengakui keterbatasannya.  Sikap objektif dapat menjadi teladan bagi guru-guru sehingga mereka pun bersikap objektif mau mengakui kekuarangan-kekurangannya baik terhadap kepala sekolah maupun terhadap murid-murid, sebab kesediaan mengakui kekurangan merupakan pangkal bagi perkembangan dan kemajuan.
E.     Masalah Kinerja Guru
Dewasa ini ada suatu kecenderungan dalam masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja.  Sedemikian luas kecenderungan itu, sehingga timbul kesan istilah ini digunakan secara serampangan tanpa konsep yang jelas.  Tidak jarang seseorang dengan mudah mengatakan bahwa yang pentig harus profesional.  Akan tetapi, ketika ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud dengan profesional, ia tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.
Dalam konteks pendidikan dan keguruan, istilah profesionalisme sudah bukan sesuatu yang asing lagi, bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan, bahkan tuntutan.   Hal ini setidak-tidaknya muncul dalam rakernas Depdiknas setiap tahun yang selalu menggarisbawahi tentang pentingnya profensionalisme guru.  Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Depdiknas terhadap guru dan sekaligus merupakan penguatan terhadap apa yang telah disadari selama ini bahwa betapa guru mempunyai peranan amat penting dalam keseluruhan upaya pendidikan.
Memang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, dan faktor-faktor instrumental lainnya.   Namun demikian, semua itu pada akhirnya tergantung kepada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Guru merupakan bagian dari sebuah sistem pendidikan nasional, dan karena itu guru terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya.  Hal seperti ini biasa di mana pun, namun dalam konteks profesionalisme guru, dan jika mengajar dianggap sebagai pekerjaan profesional, maka mereka perlu bertanya pada diri mereka sendiri, sejauh manakah para guru dewasa ini memiliki pertimbangan profesional dalam melaksanakan tugasnya?
Makin kuatnya tuntutan akan prfesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju.  Misalnya, di Amerika isu tentang profesionalisasi guru sudah ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an.  Hal itu masih berlangsung sampai sekarang.  Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini.
Dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yaitu :
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.  Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa.  Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.      Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.  Artinya, guru harus selalu ada waktu untuk mengadakan refleksi dan korelsi terhadap apa yang telah dilakukannya.
5.      Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya keanggotaan dalam Persatuan Guru Republik Indonesia  (Supriadi, 1999: 98).

Ciri-ciri di atas terasa sangat sederhana dan pragmatis.  Namun justru kesederhanaan akan membuat sesuatu lebih mudah dicapai.  Hal ini berbeda dengan kalau berbicara tentang profesionalisme guru yang cenderung ideal dalam menetapkan kriteria dan ciri, seperti misalnya 10  kompetensi guru profesional yang populer pada tahun 1980-an.  Begitu idealnya, sehingga sulit dicapai dan dinilai dengan kriteria yang terukur.
Usaha-usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru? Meningkatkan kualifikasi pendidikan dan pelatihan para guru adalah penting yang dilakukan melalui pendidikan prajabatan maupun dalam-jabatan.  Tetapi menurut berbagai hasil studi, itu saja tidak cukup, bahkan tidak begitu besar artinya jika tidak dilakukan usaha untuk terjadinya kolaborasi antara para guru sehingga terjadi berbagai pengalaman.
Di Indonesia, sesungguhnya telah ada wahana yang dipergunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (kelompok Kerja Guru), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), dan sebagainya yang memungkinkan para guru untyk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya.
Namun demikian dua hal itu, yakni pendidikan dan wadah kegiatan dirasakan masih belum cukup untuk menunjukkan profesionalitas guru.  Satu hal lagi yang menentukan penampilan profesionalitas guru adalah sejauh manakah guru mampu menguasai prinsip-prinsip paedagogi secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku pada setiap mata pelajaran.
Segi lain yang diperlu dicatat adalah profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.  Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam-jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, dan lain-lain secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang, termasuk guru.
Untuk mewujudkan guru yang profesional bukan suatu pekerjaan yang mudah.  Namun demikian, bukan pula sesuatu yang mustahil.  Hal-hal yang perlu dicatat bahwa citra guru yang profesional mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :
1.      Guru memiliki semangat juang yang tinggi disertai dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang mantap;
2.      Guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkmebnagn ipetk;
3.      Guru yang mempunyai kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat;
4.      Guru yang memiliki kualitas kesejahteraan yang memadai;
5.      Guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan. (Aqib, 2003: 147).

F.     Fungsi Supervisi Kepala Sekolah bagi Kinerja Guru
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan kemajuan datau kemunduran sekolah. Kepala sekolah merupakan manusia yang secara sadar atau tidak mempunyai kehendak atau motivasi.  Motivasi inilah yang mengarahkan dirinya untuk melakukan suatu tindakan.  Salah satu motivasi kepala sekolah sebagai seiring pemimpin dalam suatu lembaga sekolah ialah mengupayakan bagaimana sekolah yang dipimpinnya mencapai keberhasilan.
Salah satu kunci keberhasilan itu adalah bagaimana kepala sekolah mampu memotivasi, mengarahkan, dan membimbing guru bagaimana secara maksimal melaksanakan tugasnya sehingga mencapai tujuan pengajaran seperti yang diharapkan dengan hasil yang memuaskan.  Dalam memotivasi, membimbing, dan mengarahkan para guru tersebut tentu saja kepala sekolah mempunyai berbagai cara dan metode.  Namun demikian yang harus diingat bahwa dalam memberikan motivasi, bimbingan, dan dorongan hendaknya jangan terasa dipaksakan.  Berikan kebebasan kepada para guru untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.  Pada akhirnya perlu ditegaskan bahwa supervisi kepala sekolah besar peranannya dalam membentuk kinerja guru yang lebih baik.
G.  Penutup
Dengan penjelasan di atas maka sebagai penutup karya tulis ini maka yang perlu digarisbawahi adalah bahwa apanpun namanya, supervisi atau pengawasan, dan sebagainya adalah dalam rangka mencapai suatu mutu pendidikan.  Ini artinya bahwa antara kepala sekolah sebagai supervisor dan guru sebagai salah satu komponen pendidikan harus terjalin hubungan yang bersinergi yang harmonis.  Dengan terjalinnya hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru maka bukanlah suatu hal yang mustahil jika dalam suatu sekolah akan terwujud suatu mutu proses pendidikan yang handal dan berkualitas.
                                          ****
                                                                  Praya, 30 Nopember 2009
                                         
h

DAFTAR PUSTAKA


 Ali, Moh. 1987. Penelitian Kependidikan.  Bandung: Angkasa.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aqib, Zainal. 2003. Profesionalisme Guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Sendekia.

Danim, Sudarwan 2000. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Prilaku. Jakarta: Bumi Aksara.

Dirawat, dkk, 1983, Pengantar Kepemimpinan Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Effendi, Sofian. 1999. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Tema Baru.

Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.

Hadi, Sutrisno. 2002. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset

Joni, T. Raka. 1984. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Surabaya: Karya Anda.

Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lazaruth, Soewardji. 1988. Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya. Yogyakarta: Kanisius.

Mar’at. 1984. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Moekijat. 1979. Managemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian. Jakarta.Bumi: Aksara.

Nasir, Moh. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwanto,  M. Ngalim. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remadja Karya.

Riyanto,Yatim. 1996. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.  Jakarta: Rajawali.

Siagian, Sondang P. 1999. Teori dan Praktik Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudijono, Anas 2001. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudjana, Nana dan Ibrahim, 2001, Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sukardi, Dewa Ketut. 1983. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah.  Bandung: CV Ilmu.

Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wahjosumidjo. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.